Jumat, 21 Agustus 2009

Tut Wuri Hangiseni Ala Para Wali

JIKA Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan falsafah kependidikannya yang tutwuri handayani, maka para wali dalam memperkenalkan dan mengembangkan agama Islam di Pulau Jawa berpedoman pada falsafah tutwuri hangiseni. Maksudnya, dalam melakukan dakwah para wali berkeinginan ikut mewarnai tradisi atau budaya yang telah ada di tengah masyarakat dengan corak keislaman. Mengisinya dengan nilai-nilai Islami, sehingga terjadilah proses akulturasi budaya.

Akulturasi budaya itu demikian intens dilakukan para wali, sehingga menurut Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Budaya UGM Drs Adaby Darban SU, masyarakat Jawa bisa menerima agama Islam dengan tangan dan hati terbuka. Islam dengan kebudayaan itu tidak bertolak belakang. Islam itu luwes. Tidak ada persoalan dalam hal akulturasi, perpaduan kebudayaan dalam Islam dengan kebudayaan setempat. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat sinkretisme, percampuran kepercayaan, Islam melarang dengan tegas, tuturnya.

Bahwa para wali tidak mempunyai sikap menentang, memusuhi serta berusaha menghilangkan budaya setempat, menurut Adaby Darban tersaksikan dari naskah kuno Astana Tuban yang dipercaya sebagai notulen para wali. Di dalam naskah yang kini tengah diteliti otentikasi serta kezamanannya itu antara lain termaktub pengertian yang menyiratkan dalam menyiarkan agama Islam para wali berpedoman pada falsafah tutwuri hangiseni, supoyo sanak kadang lega legawa manjing ing Islam.

Adaby menegaskan, naskah kuno itu mencerminkan serta memberi bukti bahwa dalam berdakwah para wali melakukannya dengan berbagai cara asal tidak bertentangan dengan kaidah Islam. Cara dimaksud antara lain lewat media sekaten, yang menggunakan gamelan sebagai alat untuk mengumpulkan massa.

Dalam memperkenalkan dan mengembangkan agama Islam para wali banyak menggunakan simbol-simbol yang telah ada, atau menciptakan simbol-simbol baru. Sehingga yang berkembang di Pulau Jawa itu seni budaya yang diwarnai simbol-simbol keislaman. Misalnya, baju takwa yang menunjukkan bahwa pemakainya adalah orang-orang yang
dalam keadaan takwa kepada Allah. Atau paling tidak, sedang berusaha menggapai nilai ketakwaan.

Simbol-simbol itu, menurut Adaby, banyak terdapat dalam bangunan masjid. Di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, simbol itu bermula dari gapura yang merupakan pintu masuk kawasan masjid. Kata gapura itu berasal dari kata Arab ghofura yang bermakna ampunan. Tembok masjid dihiasi dengan ornamen buah waluh yang bermakna Allah karena tempat ibadah itu merupakan rumah Allah. Tiang-tiang serambi masjid dihiasi dengan ragam dedaunan yang bertuliskan Ar-Rahman - Ar-Rahim yang merupakan sifat-sifat Allah.

Simbol-simbol itu juga terdapat di Masjid Agung Demak. Di dinding depan mihrab,pengimaman, terdapat lambang binatang bulus yang mengandung 2 macam makna. Pertama, sebagai adagium Jawa yang menyiratkan makna wong kang mlebu masjid kudu alus, orang yang masuk masjid harus dalam keadaan suci. Kedua, berfungsi sebagai condro sengkolo yang berbunyi sariro sunyi kiblating gusti atau tahun Jawa 1401 Saka identik dengan tahun 1479 Masehi untuk menandai purna pugar masjid Kasultanan Bintoro. Selain gambar bulus, di dinding bagian atas pengimaman juga terdapat lambang Surya Majapahit, akar mimang, piringan Putri Campa, serta huruf-huruf Ilahiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar