Jumat, 21 Agustus 2009

Kalau Tak Tepat, Menjadi Racun

SEPERTI orang memasang batang baut pada mur. Apabila ukuran drat-nya tidak sama, tidak bisa masuk. Kalau dipaksakan, drat rusak, tidak bisa digunakan lagi. Demikian pula untuk hal-hal yang lain, jika tidak tepat, tidak cocok, bukan ukurannya, akan menjadi tidak baik atau dalam istilah Serat Nitisastra menjadi wisa, bisa atau racun.

Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka juga mengupas Serat Nitisastra ini dalam bukunya Kapustakan Djawi yang diterbitkan oleh penerbit Djambatan. Menurutnya, nasihat dalam Serat Nitisastra sepotong-sepotong. Umumnya satu bab dimuat dalam satu pada (bait) seperti misalnya tentang bisa (racun).

Di antaranya yang dikutip dalam Kapustakan Djawi adalah : Panyinauning kawruh iku wisa tumrap wong kang kesed, kendho, ora dhemen sinau. Kuncinya orang mempelajari suatu ilmu memang harus rajin belajar. Kewajiban rajin belajar itulah yang dirasa menjadi racun, bagi mereka yang malas belajar, otaknya tumpul tidak sampai untuk memikirkan materi pelajaran yang dihadapinya.

Berikutnya adalah :Pangan kang ora ajur (ing njero weteng), iku wisa sabab anjalari lelara. Makanan yang tidak hancur dalam perut itu bisa atau racun, sebab mendatangkan penyakit. Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW
menganjurkan umatnya untuk mengunyah makanan paling tidak dalam 27 kali kunyahan, sampai lembut, baru ditelan. Demikian pula dokter, menganjurkan agar setiap makanan dikunyah sampai lembut sekitar 27 kali kunyahan. Orang Jawa pun mempunyai anjuran seperti itu. Makanan yang tidak hancur dalam perut memang bisa menimbulkan masalah.

Nasihat lainnya dalam Serat Nitisastra yang dikutip Kapustakan Djawi adalah :Pakumpulan iku
wisa tumrape wong mlarat, sauni-unine (ora ana sing nganggep tur mung) ngrusek-ngruseki kuping. Perkumpulan membuat repot orang-orang yang melarat. Dalam perkumpulan itu, suaranya tidak pernah didengar, bahkan dianggap membuat risih. Dianggap mengganggu, karena orang miskin tentu tidak bisa sejalan dengan program-program yang butuh biaya. Selain itu perkumpulan juga butuh iuran dari anggotanya. Ini merupakan beban sendiri bagi orang miskin.

Berikutnya, nasihat dalam Serat Nitisastra yang dikutip Kapustakan Djawi berbunyi : Prawan ayu iku wisa tumrape wong tuwa jompo tur bodho; awit sapolah-tingkahe wong tuwa iku mung dadi gethinging prawan mau. Sudah jelas bagi seorang gadis cantik, orang tua jompo tidak akan
berkenan di hati. Merepotkan dan mengganggu. Kalau tidak bisa mengendalikan diri, si gadis tentu akan sering membentaknya. Bentakan-bentakan, dan sikap tidak menyenangkan
lainnya itulah yang dirasa menjadi racun bagi si orang tua.

Ada nasihat lainnya dalam Serat Nitisastra untuk menilai seseorang dari sikap dan perilakunya.
Bagian dari nasihat ini oleh Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka juga ia kutip dalam Kapustakan Djawi. Di antaranya seperti di bawah ini:

Jun iku yen ora kebak, (diindhit) banyune
kocak-kacik, nanging yen kebak, anteng. Periuk
tempat air, kalau tidak penuh isinya, kalau
dibawa bergerak-gerak, tetapi kalau airnya
penuh, tenang. Ini gambaran dari orang yang
bodoh akan banyak tingkah, sebaliknya orang yang
pintar, diam, tenang-tenang saja.

Sapi iku yen swarane gedhe, seru, landhung,
peresane sethithik. Sapi yang bersuara keras,
besar dan panjang, hasil perahan susunya
sedikit. Ini untuk mengumpamakan orang yang
hanya banyak bicara dan sedikit bekerja. Atau
hanya banyak omong tanpa ada bukti.

Wong iku yen rupane ala, akeh polahe, akeh
rekane, akeh wicarane (supaya katona bregas).
Untuk menutupi kekurangannya, orang lalu banyak
tingkah, banyak bicara.

Wong iku yen kurang pangajaran, wicarane sora,
kenceng, ora ngenaki ati. Orang yang tidak
berpendidikan, kalau bicara keras, tidak
mengenakkan hati.

Umumnya Serat Nitisastra itu menurut Prof Poerbatjaraka, di Bali dan Jawa, hanya berisi 10 pupuh (jenis tembang) dan 83 pada (bait). Tetapi di Museum Jakarta, Serat Nitisastra berisi 10 pupuh yang terdiri dari 120 pada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar