Sabtu, 22 Agustus 2009

SUNAN BAYAT

Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Tokoh ini terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat") di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).

Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.

Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Terdapat variasi cerita menurut beberapa babad tentang bagaimana Sunan Kalijaga menyadarkan sang bupati. Namun, pada akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.

Pangeran Mangkubumi kemudian berpindah ke selatan (entah karena diperintah sultan Demak Bintara ataupun atas kemauan sendiri, sumber-sumber saling berbeda versi), didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali,Mojosongo, Sela Gringging dan Wedi, menurut suatu babad (konon, sang pangeran inilah yang memberi nama tempat-tempat itu). Ia lalu menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.

SUNAN NGUDUNG

Sunan Ngudung atau Sunan Undung (lahir: ? - wafat: 1524) adalah seorang anggota Walisanga yang juga bertindak sebagai imam Masjid Demak pada pemerintahan Sultan Trenggana. Naskah-naskah babad mengisahkan ia gugur dalam perang melawan Kerajaan Majapahit.

Nama asli Sunan Ngudung adalah Raden Usman Haji, putra Sunan Gresik kakak Sunan Ampel. Atau dengan kata lain, ia masih sepupu Sunan Bonang. Sunan Ngudung menikah dengan Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel. Dari perkawinan tersebut lahir Raden Amir Haji, yang juga bernama Jakfar Shadiq alias Sunan Kudus.

Sunan Ngudung diangkat sebagai imam Masjid Demak menggantikan Sunan Bonang sekitar tahun 1520. Selain itu ia juga tergabung dalam anggota dewan Walisanga, yaitu suatu majelis dakwah agama Islam di Pulau Jawa.

Naskah-naskah babad, misalnya Babad Demak atau Babad Majapahit lan Para WaliKesultanan Demak dalam perang melawan Kerajaan Majapahit. Menurut naskah-naskah legenda tersebut, perang antara dua kerajaan ini terjadi pada tahun 1478. Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden PatahBrawijaya. Mengisahkan Sunan Ngudung tewas ketika memimpin pasukan melawan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh ayahnya sendiri yaitu

Sunan Ngudung diangkat sebagai panglima perang menghadapi musuh yang dipimpin oleh Raden Kusen, adik tiri Raden Patah sendiri yang menjabat sebagai adipati Terung (dekat Krian, Sidoarjo). Raden Kusen merupakan seorang muslim namun tetap setia terhadap Majapahit. Dalam perang tersebut Sunan Ngudung sempat bersikap takabur karena telah memakai baju perang bernama Kyai Antakusuma (sekarang disebut Kyai Gondil). Baju pusaka itu diperoleh Sunan Kalijaga dan konon merupakan baju perang milik Nabi Muhammad.

Akibat sikap takabur tersebut, Sunan Ngudung lengah dalam pertempuran dan akhirnya tewas di tangan Raden Kusen.

Jabatan Sunan Ngudung sebagai panglima perang kemudian digantikan oleh Sunan Kudus. Di bawah kepemimpinannya pihak Demak berhasil mengalahkan Majapahit.


Menurut prasasti Trailokyapuri diketahui bahwa Majapahit runtuh bukan akibat serangan Demak melainkan karena perang saudara melawan keluarga Girindrawardhana. Namun siapa nama raja Majapahit saat itu tidak disebutkan dengan jelas. Secara samar-samar PararatonBhre Kertabhumi yang diduga sebagai raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Girindrawardhana. menyebut nama

Apabila benar demikian, maka perang antara Demak dan Majapahit yang dikisahkan dalam naskah-naskah babad terjadi pada tahun 1478 belum tentu pernah terjadi. Prasasti Trailokyapuri menyebut Girindrtawardhana sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.

Sementara itu Babad Sengkala menyebut Kadiri runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1527. Karena menurut prasasti di atas, Kadiri dan Majapahit adalah satu kesatuan, maka dapat disimpulkan bahwa perang antara Majapahit dan Demak bukan terjadi pada tahun 1478 melainkan tahun 1527.

Perang antara dua kerajaan tersebut mungkin terjadi lebih dari satu kali. Naskah Hikayat Hasanuddin menyebutkan pada tahun 1524 imam Masjid Demak yang bernama Pangeran Rahmatullah tewas ketika memimpin perang melawan Majapahit. Tokoh ini kemungkinan besar identik dengan Sunan Ngudung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian Sunan Ngudung terjadi pada tahun 1524, bukan 1478 sebagaimana yang tertulis dalam naskah babad.


SUNAN GESENG

Sunan Geseng, atau sering pula disebut Eyang Cakrajaya, adalah murid Sunan Kalijaga. Ia adalah keturunan Imam Jafar ash-Shadiq, dengan nasab: Sunan Geseng bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husein bin Askib bin Mohammad Wahid bin Hasan bin Asir bin 'Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Ja'far ash-ShadiqMuhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w. bin

Menurut hikayat, pada suatu saat ia mengikuti anjuran Sunan Kalijaga untuk mengasingkan diri di suatu hutan untuk konsentrasi beribadah kepada Allah. Di tengah lelakunya itu, hutan tersebut terbakar, tapi beliau tidak mau menghentikan tapanya, sesuai pesan sang guru untuk jangan memutus ibadah, apapun yang terjadi, sampai sang guru datang menjenguknya. Demikianlah, ketika kebakaran berhenti dan Sunan Kalijaga datang menjenguknya, dia dapati Cakrajaya telah menghitam hangus, meskipun tetap sehat wal afiat. Maka digelarilah beliau dengan Sunan Geseng.

Makam Sunan Geseng terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap tahun ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Selain di dekat Pantai Parangtritis, Jogjakarta, makam Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di kaki Gunung Andong-dekat Gungung Telomoyo-secara administratif di bawah Kecamaan Grabag, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean (makam) Sunan Geseng.

Pada Bulan Ramadhan, pada hari ke-20 malam masyarakat banyak yang berkumpul di sekitar makam untuk bermunajat. Selain itu, di Desa Kleteran (terletak di bawah Desa Tirto) juga terdapat sebuah Pondo Pesantren yang dinamai Ponpes Sunan Geseng

WALISONGO

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain
yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.




SUNAN MURIA

WALISONGO

Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

WALISONGO

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.


SUNAN DRAJAT

Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.

Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran Kabupaten Lamongan.

Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi.

Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.

Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.

Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

Ajaran Filosofis

Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :

  1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
  2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
  3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
  4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
  5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
  6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
  7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singomengkoknya Sunan Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.


SUNAN GUNUNG JATI

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain

Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.

Silsilah Sunan Gunung Jati

.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin

.Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin

.Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam

.Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin

.Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin

.Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin

.Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin

.Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin

.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)

.Sayyid Ali Kholi' Qosim bin

.Sayyid Alawi Ats-Tsani bin

.Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin

.Sayyid Alawi Awwal bin

.Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah bin

.Ahmad al-Muhajir bin

.Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin

.Sayyid Muhammad An-Naqib bin

.Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin

.Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin

.Sayyidina Muhammad Al Baqir bin

.Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin

.Al-Imam Sayyidina Hussain

Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad

Perjalanan Hidup

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

SUNAN GIRI

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

WALISONGO

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

WALISONGO

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

WALISONGO

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.


SUNAN KUDUS

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
WALISONGO

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

WALISONGO

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

WALISONGO

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

WALISONGO

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang

MAULANA MALIK IBRAHIM

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
WALISONGO

WALISONGO

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

WALISONGO

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.



SUNAN AMPEL

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya

SUNAN BONANG

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.

Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.

Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).


Jumat, 21 Agustus 2009

SUNAN KALIJAGA

Sunan Kalijaga yang hidup di jaman Kerajaan Islam Demak (sekitar abad 15) aslinya bernama Raden Said, adalah putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta/Raden Sahur. Raden Sahur adalah keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu. Sunan Kalijaga diperkenalkan agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban sejak kecil.

Melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada Ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan.

Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 (dua ratus) kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh Ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia diusir oleh Ayahnya dari Kadipaten. Iapun tinggal di hutan Jatiwangi dan menjadi perampok orang kaya, dan berjuluk Brandal Lokajaya. Suatu waktu ia berjumpa dengan Sunan Bonang, dan dibawa ke Tuban untuk menjadi muridnya, memperdalam agama Islam. Lalu akhirnya ia menjadi pengembara yang menyebarkan agama Islam (sebelumnya sempat menemui kedua orang tuanya), yang dihari tuanya ia tinggal dan meninggal di desa Kadilangu Demak.

Ia dikenal sebagai Mubaligh/Da’i keliling, ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri di antara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia disebagian tempat juga dikenal bernama Syekh Malaya. Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya: pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya), menciptakan tembang Dandanggula dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu Lir Ilir yang sampai saat ini masih akrab dikalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di Masjid guna mengerjakan sholat jama’ah,Acara ritual berupa Gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh/pengajian akbar yang diselenggarakan para Wali di Masjid Demak untuk memperingati maulud Nabi, menciptakan Gong Sekaten bernama asli Gong Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakana bahwa mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam, pencipta Wayang Kulit diatas kulit kambing, sebagai Dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar) wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta sebagai ahli tata kota seperti misalnya pengaturan Istana atau Kabupaten dengan Alun-alun serta pohon beringin dan masjid.

Ada pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera, masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Diantara para Wali Sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi. daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana.

Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa hidupnya, sunan kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengaran cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an,. hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memagang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.

Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan Agama Islam di sini.

Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.

Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.

Maka setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh,berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya).

Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati. hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudan konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang indah. gapura mashidpun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya.

Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.

Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga (periode demak) diberi motif "burung" di dalam beraneka macam. sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut "kukila" dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : "quu" dan "qilla" atau "quuqiila", yang artinya "peliharalah ucapan (mulut)-mu.
Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju "takwo", nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa arab "taqwa" yang artinya ta'at serta berbakti kepada Allah SWT.

Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan berasal dari rangkaian Bahasa Arab ' Qadli Zaka, Qadli - artinya pelaksana, penghulu : sedangkan Zaka - artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.

Konon kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut pula, sehingga dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga kali masa pemerintahan, pertama jaman akhir kerajaan Majapahit, kedua jaman kerajaan Islam Demak, dan ketiga jaman kerajaan Pajang.

Adapun tahun kelahiran maupun wafatnya sunan kalijaga tidak diketahui dengan pasti. hanya jenazahnya dikebumikan di desa Kadilangu, termasuk daerah kabupaten Demak, yang terletak disebelah timur laut dari kota bintoro Demak.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar, Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro-dodotiro, Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, Domono jlumotono kanggo seba mengko sore, Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane, Yo surako surak horee.

Kegandrungan Memburu Wahyu Dyatmika

PEMAHAMAN akan wahyu di sini tentu tertumpu pada pemahaman Jawa. Dan sebuah kewajiban manusia Jawa yang berorientasi kepada hidup arif bijaksana selaras dengan makna kata Jawa, adalah berbakti dan manembah kepada Sang Pencipta Kehidupan. Bakti manusia Jawa berwujud darma berpartisipasi dalam memayu hayuning bawana. Oleh karenanya diperlukan ketajaman daya pikir, kepekaan rasa dan tertatanya naluri manusiawi. Keadaan ini oleh orang Jawa disebut sebagai memburu wahyu dyatmika. Untuk itulah dibutuhkan lakubrata dan maneges.

Ada pula yang menyebut wahyu jatmika. Menurut Ki Sondong Mandali, seorang pemerhati budaya Jawa disebut ada perbedaan sedikit antara dyatmika dan jatmika. Makna dyatmika adalah tenang, tak tampak gelisah, enak dipandang, atau mempunyai pesona dengan aura kebaikan tentu saja. Dengan begitu sebetulnya dyatmika bermakna rohani, sementara jatmika berorientasi kepada kelahiran. Mempunyai keduanya sangat baik. Di dunia pewayangan digambarkan pada simbol pribadi putra sulung Pandawa yakni Puntadewa. Raden Ngabehi Rangga Warsita dalam Serat Pustaka Raja Purwa membeberkan bahwa laku bekti kepada Ingkang Murbeng Gesang dilandasi tapa brata. Disebutkan oleh Pengarang besar Jawa itu bahwa berbakti kepada Allah dilakukan dalam dua perkara besar yakni melantunkan puja dan puji, serta tapabrata. Orang tidak diperkenankan memuja Allah tanpa laku keprihatinan.

Dan menurut Rangga Warsita laku kebenaran untuk menata diri adalah selalu berupaya memuja dan berdarma kepada Pangeran dalam wujud sikap, anarima, eling, tata, santosa dan panalangsa.

Perwujudan didalam kehidupan dijelaskan bahwa sikap anarima berarti memuat watak selalu mensyukuri apa yang diterimanya. Dilatih dengan mengurangi makan, mengendalikan keinginan dan nafsu. Karena kedua mengarah kepada keserakahan.

Kedua adalah sikap eling, yakni ingat bahwa hidup manusia itu tidak lepas dari pati. Oleh karena itu wajib menjaga ketenteraman dunia. Tidur itu ibarat mati. Oleh karena itu latihannya mengurangi tidur. Tidak sekadar tidak tidur, tetapi selalu berupaya mengisi kehidupannya dengan memburu nilai-nilai keilahian didalam ketidaktiduran itu.

Yang ketiga tata, didalam latihan mengendalikan syahwat, supaya diatur dalam aras senyawa alam dan sanggama ilahi. Orang Jawa membedakan membuat anak, putra dan atmaja.

Keempat santosa, artinya kuat. Kekuatan tanpa tanding adalah sabar. Buah kesabaran adalah kesentosaan.

Yang kelima panalangsa dan ini berkaitan dengan rasa. Tempatnya di dalam hati sanubari. Latihannya diam. Didalam sikap diam dilatih kebijaksanaan hidup.

Kalau manusia sudah mampu melakoni kelima latihan itu dengan sempurna, maka untuk menjalankan darma hidup yakni memayu hayuning bawana bakal bisa dijalani.

Jadi kesimpulan yang bisa ditarik bahwa lakubrata dalam pemahaman Jawa hanya sebagai sarana agar bisa menjalankan puja puji kepada Pangeran. Dengan begitu bukan lakubrata itu sendiri yang disebut sebagai sembah

Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram

AJARAN Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram, mampu menunjukkan bahwa pada diri seseorang ada elemen kunci yang sangat menentukan bahagia tidaknya seseorang. Mengingat elemen tersebut merupakan elemen yang stabil, tenang, serta damai dan yang berubah-ubah, senantiasa jungkir balik serta selalu berusaha menurut keinginannya sendiri, khususnya yang berhubungan dengan semat, derajad, dan kramat.

Hal tersebut merupakan investigasi Prof Someya Yoshimichi, salah seorang Cultural Anthropologist senior dari Universitas Shizuoka Jepang.

Prof Someya Yoshimichi telah melakukan investigasi tentang Kawruh Jiwa Ki Ageng
Suryamentaram dengan judul penelitiannya, How did The People Get Hapiness through learning The Philosophy of Ki Ageng Suryamentaram.

Begitu cintanya dengan Kawruh Jiwa, di berbagai kegiatan seminar di Jepang, Prof Someya dalam makalahnya selalu menyinggung perihal Kawruh Jiwa. Satu diantara artikelnya pernah dimuat dalam Mainichi Shimbun (15/1-02), yang antara lain berani menawarkan Kawruh Jiwa sebagai alternatif untuk membahagiakan umat manusia dalam rangka menghadapi sisi-sisi negatif dari peradaban moderen.

Di Indonesia Prof Someya melakukan penelitian terhadap beberapa kelompok masyarakat yang menerapkan filsafat hidup Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram, antara lain dibeberapa daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY. Tertarik untuk melakukan investigasi karena memperoleh informasi bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang menerapkan Kawruh Jiwa hidupnya sehat dan bahagia.

Ki Ageng Suryamentaram, dengan nama kecil BRM Kudiarmaji salah seorang putera Sri Sultan
Hamengku Buwono VII. Seorang pangeran, kelahiran 20 Mei 1892 ini karena kegalauan perasaannya serta keinginannya yang sangat besar terhadap masalah-masalah kejiwaan, beliau dengan kesederhanaannya berkelana mencari hakikat hidup serta mengembangkan pengetahuannya perihal Kawruh Jiwa.

Dengan latihan melakukan mawas diri, orang akan mampu untuk senantiasa nyawang karep secara damai. Dan memandu karep agar senantiasa mengikuti jalan alamiah dan bertingkah laku benar.

Menurut Ki Ageng, seseorang akan memperoleh kebahagiaan, ketika ia mampu memposisikan
dirinya mandiri, terbebas dari karep yang tidak stabil dan mudah terombang-ambing berbagai
keadaan yang ada. Maka, dengan cara tersebut seseorang dapat memperoleh ketenangan,
kesejukan, dan kestabilan, sehingga dapat hidup sehat dan bahagia.

Salah seorang anggota Komunitas Pelajar ‘Kawruh Jiwa’ Yogyakarta, Ir Prasetyo Atmosutedjo, MM menjelaskan, Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram menunjukkan bahwa dalam hidup ini bungah dan susah senantiasa silih berganti dan langgeng.

Jadi, dalam menghadapi hidup tidak perlu ada yang dikhawatirkan, ungkapnya. Dan pemahaman tersebut sangat efektif membesarkan hati orang yang sedang tertimpa kesusahan, karena ia akan memahami kesusahannya tidak akan berkepanjangan.

Dengan sifat analitiknya, lanjut Prasetya, Kawruh Jiwa membebaskan seseorang dari
kekecewaan atas masa lalu dan kekhawatiran akan masa depan. Dari kabar burung tidak bertanggung jawab, dari takhayul yang tidak berdasar dan bahkan dari berita sejarah, sehingga seseorang dapat lebih fokus berkonsentrasi pada masalah yang harus dihadapinya kini dan di sini, atau dalam bahasa Jawa saiki kene. Konsentrasi semacam itu tidak diragukan lagi akan
mengantarkan seseorang kepada stabilitas psikologis.

Dengan stabilitas tersebut seseorang akan menjadi lebih mudah untuk hidup menurut aturan
alam. Dalam Kawruh Jiwa sering dikatakan sebagai hidup berdasarkan konsep enam sa yaitu, sa butuhe, sa kepenake, sa perlune, sa cukupe, sa mesthine, sa benere. Konsep enam sa Ki Ageng Suryamentaram yang dinamis dan damai itu juga pernah diungkapkan cukup panjang lebar oleh Prof Dr Emil Salim dalam menggambarkan idealnya pendekatan pembangunan ekonomi suatu bangsa.

Tut Wuri Hangiseni Ala Para Wali

JIKA Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan falsafah kependidikannya yang tutwuri handayani, maka para wali dalam memperkenalkan dan mengembangkan agama Islam di Pulau Jawa berpedoman pada falsafah tutwuri hangiseni. Maksudnya, dalam melakukan dakwah para wali berkeinginan ikut mewarnai tradisi atau budaya yang telah ada di tengah masyarakat dengan corak keislaman. Mengisinya dengan nilai-nilai Islami, sehingga terjadilah proses akulturasi budaya.

Akulturasi budaya itu demikian intens dilakukan para wali, sehingga menurut Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Budaya UGM Drs Adaby Darban SU, masyarakat Jawa bisa menerima agama Islam dengan tangan dan hati terbuka. Islam dengan kebudayaan itu tidak bertolak belakang. Islam itu luwes. Tidak ada persoalan dalam hal akulturasi, perpaduan kebudayaan dalam Islam dengan kebudayaan setempat. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat sinkretisme, percampuran kepercayaan, Islam melarang dengan tegas, tuturnya.

Bahwa para wali tidak mempunyai sikap menentang, memusuhi serta berusaha menghilangkan budaya setempat, menurut Adaby Darban tersaksikan dari naskah kuno Astana Tuban yang dipercaya sebagai notulen para wali. Di dalam naskah yang kini tengah diteliti otentikasi serta kezamanannya itu antara lain termaktub pengertian yang menyiratkan dalam menyiarkan agama Islam para wali berpedoman pada falsafah tutwuri hangiseni, supoyo sanak kadang lega legawa manjing ing Islam.

Adaby menegaskan, naskah kuno itu mencerminkan serta memberi bukti bahwa dalam berdakwah para wali melakukannya dengan berbagai cara asal tidak bertentangan dengan kaidah Islam. Cara dimaksud antara lain lewat media sekaten, yang menggunakan gamelan sebagai alat untuk mengumpulkan massa.

Dalam memperkenalkan dan mengembangkan agama Islam para wali banyak menggunakan simbol-simbol yang telah ada, atau menciptakan simbol-simbol baru. Sehingga yang berkembang di Pulau Jawa itu seni budaya yang diwarnai simbol-simbol keislaman. Misalnya, baju takwa yang menunjukkan bahwa pemakainya adalah orang-orang yang
dalam keadaan takwa kepada Allah. Atau paling tidak, sedang berusaha menggapai nilai ketakwaan.

Simbol-simbol itu, menurut Adaby, banyak terdapat dalam bangunan masjid. Di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, simbol itu bermula dari gapura yang merupakan pintu masuk kawasan masjid. Kata gapura itu berasal dari kata Arab ghofura yang bermakna ampunan. Tembok masjid dihiasi dengan ornamen buah waluh yang bermakna Allah karena tempat ibadah itu merupakan rumah Allah. Tiang-tiang serambi masjid dihiasi dengan ragam dedaunan yang bertuliskan Ar-Rahman - Ar-Rahim yang merupakan sifat-sifat Allah.

Simbol-simbol itu juga terdapat di Masjid Agung Demak. Di dinding depan mihrab,pengimaman, terdapat lambang binatang bulus yang mengandung 2 macam makna. Pertama, sebagai adagium Jawa yang menyiratkan makna wong kang mlebu masjid kudu alus, orang yang masuk masjid harus dalam keadaan suci. Kedua, berfungsi sebagai condro sengkolo yang berbunyi sariro sunyi kiblating gusti atau tahun Jawa 1401 Saka identik dengan tahun 1479 Masehi untuk menandai purna pugar masjid Kasultanan Bintoro. Selain gambar bulus, di dinding bagian atas pengimaman juga terdapat lambang Surya Majapahit, akar mimang, piringan Putri Campa, serta huruf-huruf Ilahiyah.

Kalau Tak Tepat, Menjadi Racun

SEPERTI orang memasang batang baut pada mur. Apabila ukuran drat-nya tidak sama, tidak bisa masuk. Kalau dipaksakan, drat rusak, tidak bisa digunakan lagi. Demikian pula untuk hal-hal yang lain, jika tidak tepat, tidak cocok, bukan ukurannya, akan menjadi tidak baik atau dalam istilah Serat Nitisastra menjadi wisa, bisa atau racun.

Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka juga mengupas Serat Nitisastra ini dalam bukunya Kapustakan Djawi yang diterbitkan oleh penerbit Djambatan. Menurutnya, nasihat dalam Serat Nitisastra sepotong-sepotong. Umumnya satu bab dimuat dalam satu pada (bait) seperti misalnya tentang bisa (racun).

Di antaranya yang dikutip dalam Kapustakan Djawi adalah : Panyinauning kawruh iku wisa tumrap wong kang kesed, kendho, ora dhemen sinau. Kuncinya orang mempelajari suatu ilmu memang harus rajin belajar. Kewajiban rajin belajar itulah yang dirasa menjadi racun, bagi mereka yang malas belajar, otaknya tumpul tidak sampai untuk memikirkan materi pelajaran yang dihadapinya.

Berikutnya adalah :Pangan kang ora ajur (ing njero weteng), iku wisa sabab anjalari lelara. Makanan yang tidak hancur dalam perut itu bisa atau racun, sebab mendatangkan penyakit. Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW
menganjurkan umatnya untuk mengunyah makanan paling tidak dalam 27 kali kunyahan, sampai lembut, baru ditelan. Demikian pula dokter, menganjurkan agar setiap makanan dikunyah sampai lembut sekitar 27 kali kunyahan. Orang Jawa pun mempunyai anjuran seperti itu. Makanan yang tidak hancur dalam perut memang bisa menimbulkan masalah.

Nasihat lainnya dalam Serat Nitisastra yang dikutip Kapustakan Djawi adalah :Pakumpulan iku
wisa tumrape wong mlarat, sauni-unine (ora ana sing nganggep tur mung) ngrusek-ngruseki kuping. Perkumpulan membuat repot orang-orang yang melarat. Dalam perkumpulan itu, suaranya tidak pernah didengar, bahkan dianggap membuat risih. Dianggap mengganggu, karena orang miskin tentu tidak bisa sejalan dengan program-program yang butuh biaya. Selain itu perkumpulan juga butuh iuran dari anggotanya. Ini merupakan beban sendiri bagi orang miskin.

Berikutnya, nasihat dalam Serat Nitisastra yang dikutip Kapustakan Djawi berbunyi : Prawan ayu iku wisa tumrape wong tuwa jompo tur bodho; awit sapolah-tingkahe wong tuwa iku mung dadi gethinging prawan mau. Sudah jelas bagi seorang gadis cantik, orang tua jompo tidak akan
berkenan di hati. Merepotkan dan mengganggu. Kalau tidak bisa mengendalikan diri, si gadis tentu akan sering membentaknya. Bentakan-bentakan, dan sikap tidak menyenangkan
lainnya itulah yang dirasa menjadi racun bagi si orang tua.

Ada nasihat lainnya dalam Serat Nitisastra untuk menilai seseorang dari sikap dan perilakunya.
Bagian dari nasihat ini oleh Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka juga ia kutip dalam Kapustakan Djawi. Di antaranya seperti di bawah ini:

Jun iku yen ora kebak, (diindhit) banyune
kocak-kacik, nanging yen kebak, anteng. Periuk
tempat air, kalau tidak penuh isinya, kalau
dibawa bergerak-gerak, tetapi kalau airnya
penuh, tenang. Ini gambaran dari orang yang
bodoh akan banyak tingkah, sebaliknya orang yang
pintar, diam, tenang-tenang saja.

Sapi iku yen swarane gedhe, seru, landhung,
peresane sethithik. Sapi yang bersuara keras,
besar dan panjang, hasil perahan susunya
sedikit. Ini untuk mengumpamakan orang yang
hanya banyak bicara dan sedikit bekerja. Atau
hanya banyak omong tanpa ada bukti.

Wong iku yen rupane ala, akeh polahe, akeh
rekane, akeh wicarane (supaya katona bregas).
Untuk menutupi kekurangannya, orang lalu banyak
tingkah, banyak bicara.

Wong iku yen kurang pangajaran, wicarane sora,
kenceng, ora ngenaki ati. Orang yang tidak
berpendidikan, kalau bicara keras, tidak
mengenakkan hati.

Umumnya Serat Nitisastra itu menurut Prof Poerbatjaraka, di Bali dan Jawa, hanya berisi 10 pupuh (jenis tembang) dan 83 pada (bait). Tetapi di Museum Jakarta, Serat Nitisastra berisi 10 pupuh yang terdiri dari 120 pada.

Misteri Sabda Palon Dalam Mitologi Jawa

SABDA PALON dalam kisah Sandyakalaning Madjapahit diceritakan sebagai pamomong Prabu Brawijaya yang kemudian lebih senang pergi meninggalkan Brawijaya untuk bertapa di Gunung Merapi. Sabdo Palon ini dalam mitologi Jawa penuh misteri. Namanya saja sudah mengandung makna yang multidimensional. Lalu sebenarnya siapa Sabda Palon ini .

Sabda Palon diyakini masyarakat Jawa sebagai Yang Mbaureksa Tanah Jawa. Menurut Ki Sondong Mandali, Sabda Palon merupakan derivatif dari Hyang Ismaya atau Semar-sang pamomong. Artinya bahwa yang diasuh oleh Sabda Palon adalah orang yang memiliki kedaulatan spiritual, yaitu penguasa yang agung binathara. Penguasa yang dipatuhi oleh rakyatnya dan disegani oleh negara lain.

Kisah yang diyakini para ahli kebatinan tugas Sabda Palon terakhir mengasuh Prabu Brawijaya di Majapahit. Sabda Palon memilih berpisah dengan pamomongnya lantaran Brawijaya pindah agama. Dengan begitu Brawijaya dianggap kehilangan kedaulatan spiritualnya. Sabda Palon memilih lengser dari kedudukannya dan bertapa di kawah Gunung Merapi 500 tahun. Dan selama itu Nusantara tidak punya kedaulatan spiritual lagi.

Telaahan lain mengkaji bahwa pemahaman akan Sabda Palon tidak seperti itu. Tidak pernah orang Jawa menolak keyakinan suatu agama. Bahkan dengan amat pandai orang Jawa meramu berbagai agama , bahkan mendukung agama-agama yang masuk ke Nusantara sampai zaman keemasannya. Tuntunan Jawa bagi penyembahan pribadi diserahkan kepada masing-masing pribadi. Pokoknya paham dasar yang harus dilaksanakan setiap manusia, ketika hidup dan bergaul dengan sesama ciptaan Allah, mahkluk apapun, kewajibannya adalah ikut memperindah kehidupan yang sudah indah. Memayu hayuning bawono. Memelihara, melestarikan keselarasan hidup di dunia.

Oleh karena itu kalau didalami benar kisah Sabda Palon sebenarnya menggambarkan akhir dari kekuasaan Brawijaya yang bisa jadi salah dalam mengemban kekuasaannya.Bahkan ada suatu tembang, dhandang gula yang berkisah bahwa hancurnya Majapahit juga dihantam oleh bencana alam, bisa jadi gempa bumi atau pun tsunami. Tetapi berkait dengan Raja Brawijaya yang diugung dengan kekuasaan dan kekayaan yang luar biasa lupa kepada amanah kekuasaannya. Brawijaya memiliki selir yang banyak sekali sehingga berputera banyak dan masing-masing puteranya diserahi kekuasaan. KKN pun terjadi ketika itu. Tidak hanya KKN, malima, madat main, minum, maling, medok, juga terjadi. Majapahit kemudian kehilangan kewibawaannya. Negara besar itu menjadi ringkih. Maka ketika diserang oleh kerajaan lain rakyat pun enggan untuk ikut mempertahankan pemerintahan penguasanya yang sudah tidak keruan, yang tidak mempunyai kedaulatan spiritual lagi. Rakyat Majapahit enggan ikut membela negara.

Dengan demikian Sabda Palon sebenarnya merupakan simbolisasi rakyat yang setia kepada penguasa. Sabda Palon memilih berpisah dengan rajanya, berarti rakyat sudah tidak setia lagi kepada pemerintahannya lantaran para penguasa sudah kehilangan kedaulatan spiritual. Norma kehidupan Majapahit kacau. Istilahnya adalah pembangkangan publik. Dan cerita itu disamarkan sebagai Sabda Palon memilih untuk bertapa di Kawah Gunung Merapi selama 500 tahun. Dan selama itu kemudian masyarakat Nusantara merasa sadar diri sebagai bangsa terjajah dan mewujud sebagai kesadaran spiritual untuk merdeka. Dan ketika itulah kembali Sang pamomong yakni rakyat mendukung pemerintahannya kembali untuk setia kepada pemerintah. Tetapi begitu pemimpinnya hidup dalam tempurung kepalanya sendiri dan hidup bagi golongannya bukan tidak mungkin Sabda Palon akan melakukan pertapaannya kembali. Munculnya rasa kesadaran berkebangsaan begitu kuat digambarkan sebagai letusan Gunung Merapi yang mewujud menjadi bangsa Indonesia di tahun 1928, dan mencapai puncaknya ketika Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kesadaran berkedaulatan spiritual ini penting semenjak zaman leluhur kita. Kedaulatan spiritual bukan mementingkan kepentingan sendiri, bukan mementingkan kepentingan kelompok, tetapi demi kepentingan masyarakat agung masyarakat Indonesia seutuhnya.

Oleh karena itulah Sabda Palon akan terus menjadi pamomong penguasa Nusantara, siapa pun orangnya. Tetapi begitu penguasa tidak mempunyai kedaulatan spiritual dan hidup demi kepentingan sendiri, bisa jadi pembangkangan publik akan terjadi. Kita simak sejarah bangsa ini bakal terulang bila tidak mau belajar dari sejarah.
(Ki Juru Bangun Jiwo )

Kawruh Jiwa Memerdekakan Hidup

UNIK memang mengikuti diskusi kandha takon pada beberapa komunitas pelajar Kawruh Jiwa. Prof Someya mencatat adanya beberapa hal yang menarik.

Pertama, Kawruh Jiwa bersifat generatif dan kreatif. Seperti yang sering diucapkan Ki Ageng Suryomentaram bawa ?tiru-tiru kuwi ora tiru, jalaran sing ditiru ora tiru-tiru. Dengan kalimat tersebut Ki Ageng berupaya mendorong rekan-rekannya untuk selalu bersikap kreatif dan generatif.

Kedua, Kawruh Jiwa bersifat egalitarialis, non otoritaris, dan universal. Menurut Kawruh Jiwa, rasa dimiliki semua orang, dan sering dikatakan semua orang sebenarnya memiliki perasaan atau rasa yang sama (raos sami), walaupun dalam eksistensinya tentu bervariasi.

Kawruh Jiwa menjelaskan, karena ada raos sami orang dapat saling berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi dan memahami orang lain menentukan kompetensi sosial seseorang. Seperti diungkapkan Nanik Prihartanti dan Usmi Karyani (1998), dalam Laporan Penelitian mengenai Pemahaman Rasa Untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Untuk meningkatkan kompetensi sosial seseorang, ternyata pendekatan Pemahaman Rasa Ki Ageng Suryomentaram lebih efektif dari pada pendekatan Pemecahan Masalah yang diadaptasikan dari konsep Goldfried dan Davidson.

Ketiga, Kawruh Jiwa secara alamiah bersifat demokratis, peduli bukan mementingkan diri sendiri, dan bebas. Kawruh Jiwa adalah filsafat yang ditujukan untuk keselamatan personal yang membebaskan orang dari penderitaan dan ketakutan, dengan cara tersebut kemajuan yang bersifat sosial; dan demokratis dapat diraih.

Keempat, Kawruh Jiwa bersifat bebas materialisme. Menurut Kawruh Jiwa, kebahagiaan tidak terletak pada kepuasan terhadap kebutuhan materi, namun terletak pada ketenangan dan kedamaian jiwa.

Prof Someya juga mengatakan, secara umum Kawruh Jiwa mampu mengubah seseorang ke arah yang lebih positif seperti yang pernah ditemuinya, seseorang yang sebelumnya bertingkah laku kurang baik, setelah mengenal Kawruh Jiwa dengan serius, ternyata kemudian menjadi orang yang lebih percaya diri, rajin bekerja, dan mampu mengatasi kesulitan sosial ekonominya.

Itulah temuan penting Prof Someya mengenai Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram
yang diyakininya sangat bermanfaat bagi kemajuan umat manusia di dunia.

Mengasah Rasa Versi Suryomataraman

Pendidikan ukuran ke 4 termuat dalam sebuah semboyan, Siapa mencari enak tanpa mengenakkan tetangganya, sama dengan membuat tali untuk menjerat lehernya sendiri. Jadi rasa enak itu hanya dapat diperoleh dengan jalan mengenakkan orang lain, dan dari pada itu tidak ada. Rasa enak yang diperoleh dengan tidak mengenakkan orang lain, tercampur rasa tidak enak yang lebih berat bobotnya, maka rasa itu tidaklah murni.

Misalnya, seorang menikmati makanan, karena makannya serba enak tidak seperti biasanya, maka akan timbul rasa tidak enak. Wahai, bagaimana agar dapat makan makanan yang serba enak seperti ini lagi. Bila keinginannya terlaksana, tentu muncul rasa tidak enak lagi. Wah, bagaimana supaya setiap hari dapat makan serba enak seperti ini, demikian seterusnya.

Perbuatan mengenakkan orang lain sering bersifat tidak mengenakkan orang lain. Misalnya seorang suami membelikan pakaian untuk isterinya dengan maksud supaya isterinya tidak cerewet. Perbuatan itu sebenarnya bukan mengenakkan isterinya, namun menyuap isterinya dengan pakaian.

Dengan demikian, rasa enak itu hanya dapat diperoleh dengan jalan mengenakkan orang lain. Karena dalam hubungan, orang merasa enak atau tidak enak, bersama-sama dengan orang yang dihubungi. Jadi, orang yang dihubungi tidak terpisah sebagai kamu.

Semboyan enak hanyalah mengenakkan orang lain didasarkan atas anggapan bahwa
orang orang lain bukanlah kamu.Sikap jiwa yang menganggap orang lain bukan kamu, mewajarkan tindakannya mengenakkan orang lain, dan memungkinkan melihat rasa enak atau tidak enak orang lain.


Perkembangan Ukuran Ke 4


a. Syarat-syarat perkembangannya.

Syarat perkembangan ukuran ke 4,yaitu pengertian bahwa keenakkan hubungan dengan orang lain hanyalah dengan menghayati rasa orang lain. Seperti halnya keenakkan hubungan dengan barang-barang hanyalah dengan mengerti barang-barang itu. Pengertian tersebut menimbulkan ikhtiar agar dapat menghayati rasa orang lain. Ikhtiar yang timbul dari pengertian itu membuat orang tidak henti-hentinya berusaha sehingga mencapai tujuan itu.

b. Rintangan perkembangan Ukuran Ke 4.

Rintangan yang menghalangi perkembangan ukuran ke 4 yaitu rasa luka.
Pengalaman tidak enak yang lampau, pedih dihati menjadi luka hati. Pada waktu berhubungan dengan orang lain, luka itu merupakan rasa balas dendam. Maka, luka itu menghalangi orang merasakan rasa orang lain, sebagai kacamata berwarna, menghalangi untuk mengamati orang lain. Jadi, seorang laki-laki pernah bercerai dalam perkawinan, ia menanggapi wanita lain sama jahatnya, seperti isteri yang diceraikannya.

c. Latihan.

Bila orang mengerti hambatan yang merintangi perkembangan ukuran ke 4, maka orang perlu mempelajari dan melatih dirinya agar ukuran ke-4nya berkembang secara wajar.
Latihan ini dapat dijalankan dalam pekerjaan. Misalnya, berdagang, ketika laris orang tidak merasa susah, namun bila tidak laku, lalu merasa susah.

Bila kesusahan itu diteliti dengan landasan rasa merasa salah, dapat ditemukan kesalahannya sendiri. Yaitu, rasa suka untung dan benci rugi, yang merintangi rasa si pembeli. Bila suka dan bencinya sendiri diketahui, orang akan mengerti rasa si pembeli yaitu butuh harga murah dan barang baik. Kemajuan orang itu mengerti bahwa jika ia tidak dapat mengadakan harga murah dan barang baik, maka ia tidak sesuai dengan pekerjaan itu.

Latihan itu juga dapat dijalankan di lingkungan keluarga. Melihat anaknya tidak naik kelas dalam sekolahnya. Bila ia memakai kacamata untung rugi, ia tidak dapat menghayati rasa anaknya, kemudian memarahinya. Namun bila rasa untuk rugi yang ada pada dirinya diketahui, ia akan merasa salah dan menghayati rasa anaknya. Ternyata rasa anak sekolah yang tidak naik kelas itu tidak enak, seakan-akan putus asa dan ingin bunuh diri. Menghayati rasa anaknya itu, maka tentu saja orang segera berusaha menghilangkan rasa putus asa dan tidak memarahi.

Bila latihan tersebut dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, ukuran ke 4 akan berkembang semakin subur, sehingga menimbulkan perubahan sifat jiwa manusia.Dengan demikian dapat disimpulkan, orang dapat menghayati rasa orang lain tidak memikirkan diri sendiri secara mutlak, karena ia bersikap bersatu dengan orang lain. Jadi pengetahuan diri sendiri merupakan syarat dalam pergaulan antar manusia.


Konsep Ukuran Ke 4 dan Pembangunan Nasional.


Hakikat pembangunan nasional yaitu Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD-45. Maka dalam pembangunan perlu adanya suatu gambaran tentang manusia yang ideal.

Dalam hal ini, konsep Ki Ageng Suryomentaram tentang ukuran ke 4 atau manusia
tanpa ciri dapat digunakan sebagai gambaran tentang manusia yang ideal, yaitu dalam ungkapan semboyan yang punya nilai etik dan moral tinggi, yaitu Tidak ada enak kecuali mengenakkan orang lain?. Manusia tanpa ciri selalu merasa sama
dengan orang lain dan dalam pergaulan selalu merasa damai dengan orang lain.

Nilai etik dan moral ini diharapkan dapat dipergunakan dalam upaya menanggulangi
side effect dari pembangunan, yaitu egoisme dan melemahnya solidaritas sosial.
Manusia tanpa ciri, manusia yang sudah tidak punya ciri-ciri lagi. Ciri-ciri itu pada hakikatnya adalah semua perbedaan. Jadi, ciri-ciri itu merupakan segala sesuatu yang menjadikan manusia berbeda dengan manusia lain.

Manusia tanpa ciri menganggap orang lain bukan kamu, artinya dalam hal rasa orang lain itu sama dengan dirinya. Karena merasa sama dengan orang lain, ia merasa damai dengan orang lain sehingga ia merasa adil. Karena merasa aman dengan orang lain segala perbuatannya seenaknya, secukupnya, sebutuhnya, semestinya, sebenarnya, sehingga ia selalu jujur, tidak serakah, tidak gila hormat dan merasa makmur.

Bila ukuran ke 4 atau manusia tanpa ciri ini berkembang dalam tiap diri para
aparat pembangunan bangsa, side effect dari pembangunan yang berupa menonjolnya egoisme den melemahnya solidaritas sosial akan berkurang, sehingga jalan menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD-45 yang dicita-citakan seluruh bangsa lebih lancar.